"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.” (Al-Anfal: 27)
Ayat ini menyebutkan secara prioritas tingkatan amanah yang harus
ditunaikan oleh setiap orang yang beriman; amanah Allah, amanah
Rasul-Nya dan amanah antar sesama orang beriman.
Yang menarik dari redaksi ayat ini adalah bahwa perintah menjaga
amanah langsung menyebutkan lawan dari amanah yaitu khianat. Sehingga
kata kunci dari ayat ini lebih tertuju kepada larangan mengkhianati
Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.
Secara redaksi juga, ayat ini tidak menyertakan kata (لا)
pada amanat manusia seperti yang tersebut pada amanat Allah dan
Rasul-Nya menurut Ar-Razi bahwa ini merupakan jawaban atas pengabaian
amanat Allah dan Rasul-Nya. Artinya, jika kalian mengkhianati amanat
Allah dan Rasul-Nya maka kalian berarti telah mengkhianati amanat di
antara kalian sendiri. Dalam kata lain, menjaga kepercayaan Allah dan
Rasul-Nya merupakan benteng yang paling kokoh agar seseorang mampu
menjaga kepercayaan sesamanya.
Lebih ketara lagi bahwa ayat ini diawali dengan seruan kepada
orang-orang yang beriman yang seharusnya menjadi contoh bagi umat yang
lain dalam hal menjaga kepercayaan. Karena Rasul sendiri mengisyaratkan
dalam haditsnya bahwa keimananan seseorang masih perlu dibuktikan
dengan ujian menjaga kepercayaan. Bahkan seseorang dicap tidak beriman
manakala tidak mampu menjaga amanat. Rasulullah saw. bersabda:
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَه
"Tidak ada iman bagi yang tidak ada amanat padanya (menjaga
amanat) dan tidak ada agama bagi yang tidak ada janjinya baginya
(memenuhi janji).” (H.R. Imam Ahmad)
Bahkan menurut kesaksian Anas bin Malik ra. sebagai perawi hadits ini
bahwa Rasulullah tidak pernah berkhutbah melainkan menyertakan hadits
tentang ketiadaan iman bagi yang tidak menjalankan amanat.
Pengkhianatan amanat dalam beragam bentuknya merupakan hal yang
terlarang dan sangat dibenci oleh siapapun. Menurut Zamakhsyari, khianat
secara bahasa berarti An-Nuqshan (kurang), sedangkan anonimnya amanat diartikan dengan At-Tamam (sempurna).
Ini berarti segala bentuk amanat agar tidak termasuk mengkhianatinya
haruslah dilaksanakan dengan sempurna dan sesuai dengan tuntunan dan
tuntutan sang pemberi amanat. Jika dilaksanakan apa adanya, cenderung
asal-asalan dan tidak sungguh-sungguh meskipun ia telah menjalankannya,
maka tetap saja berlaku istilah khianat untuknya berdasarkan makna
bahasa yang cukup tajam ini.
Pengurutan amanat yang Allah sebutkan di ayat ini tidak sekedar untuk
memenuhi syarat keindahan bahasa dan redaksi Al-Qur’an, lebih dari itu
tentu, pengurutan ini memberi pesan bahwa amanat Allah dan Rasul-Nya
adalah yang paling tinggi, besar dan berat tanggung jawab dan
konsekuensinya. Dapat dikatakan seseorang yang mampu menjaga amanat
Allah dan Rasul-Nya, pastinya ia akan mampu juga menjaga kepercayaan
sesamanya. Namun jika tidak, tentu sangat berat baginya untuk
melaksanakan kepercayaan manusia karena kepercayaan Allah dan Rasul-Nya
sendiri yang lebih tinggi nilai dan urgensinya sangat mudah ia abaikan.
Dalam konteks menjaga kepercayaan Allah, Ibnu Katsir memaknainya
dengan menjaga kewajiban yang diperintahkannya dengan sebaik-baiknya.
Seseorang yang mampu menjaga shalatnya, puasanya, zakatnya, baktinya dan
ibadah yang lainnya maka ia tentu akan dipercaya untuk menjalankan
amanat yang lainnya. Namun jika seseorang tidak mampu menjalankan
kepercayaan pada satu jenis ibadah, jangan harap ia akan mendapat
kepercayaan Allah untuk menjalankan ibadah yang lainnya. Dengan
demikian, berusaha menjalankan seluruh kewajiban Allah dengan
sebaik-baiknya tanpa terkecuali merupakan bukti bahwa ia layak mendapat
kepercayaan Allah pada seluruh aturan dan syariat-Nya. Dan
berbahagialah ia dengan penghargaan tersebut. Namun jika sebaliknya,
maka tidak akan mungkin Allah akan memberikan kepercayaan untuk
menjalankan syariat-Nya di muka bumi ini. ‘Sekali lancing ke ujian, selamana ia tidak akan dipercaya’.
Menjaga kepercayaan Rasul adalah dengan menjalankan sunnah-sunnahnya
secara komprehensif dalam seluruh praktik kehidupan nyata Rasulullah;
dalam beribadah, dalam berdakwah, menjaga amanat keluarga, masyarakat
dan menjalankan amanat kepemimpinan umat. Seluruhnya akan menjadi
barometer apakah kita termasuk yang mampu menjaga kepercayaan Rasulullah
saw. pasca kewafatan baginda. Justru komprehensifitas kehidupan Rasul
yang telah ditentukan oleh Allah adalah pertanda bahwa sunnahnya memang
mencakupi seluruh kehidupan manusia, tidak dibatasi pada wilayah ibadah mahdhah dan sebagainya.
Bangsa yang mayoritas muslim ini sedang diuji dengan ujian
kepercayaan. Sejauh mana mereka lulus dan baik menjalankannya, akan
semakin besar perlindungan dan rahmat Allah terhadap bangsa ini. Tentu
masih terbuka bagi kita untuk terus mengintrospeksi dan mengevaluasi
tingkat ‘kepercayaan’ kita di mata Allah, Rasul-Nya dan masyarakat
secara umum. Sebelum terjadi hal yang lebih buruk lagi di bangsa ini,
sebelum segalanya terjadi seperti yang diprediksikan oleh Rasulullah
saw: "Jika amanat diabaikan maka tunggulah kehancurannya.” (H.R. Bukhari).
Sungguh setiap kita, sebagai apapun terutama sebagai orang yang
beriman seharusnya senantiasa memperhatikan aspek kepercayaan ini dengan
sepenuh hati sehingga keimanan kita benar-benar dapat dipercayai dan
dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah swt. Allahu a’lam
(Dakwatuna.com)
|